Siklus kekuasaan tuh unik, tapi penuh ironi.
for example nih di Indonesia.
Para pemimpin otoriter seringkali punya riwayat harum pada kali pertama berkuasa. Bisa jadi karena ada momentum strategis yang diperankan, atau takdir giliran kuasa memang diberikan ke mereka. Otoritas diperoleh dengan seluruh mandat. Sedangkan rakyat pasrah dan penuh harapan pada pemimpinnya yang baru, sehingga mereka begitu memesona di awal kepemimpinannya. begitulah Soekarno, Soeharto, bahkan Husni Mubarak (mesir) mengawali kekuasaannya.
Sekali, dua kali, tiga kali, kekuasaan mulai memberi efek candu.
Mereka mulai menjadi bertangan besi, segalanya berganti benci dan antipati.
Penguasa lama akhirnya diganti pemimpin baru, biasanya dengan tidak hormat.
Ironis, dari cinta menjadi benci
Tapi bukan berarti segalanya jadi happy ending, berlanjutlah suatu negara ke siklus kekuasaan berikutnya. Penguasa setelah era otoriter biasanya hanya mampu menghidupkan partisipasi politik. Mesin raksasa di jajaran birokrasi masih bergerak dengan pola yang lama, integritas para birokratnya telah mati. Kemudian demokrasi menjadi megah, bahkan partisipasi diberikan secara luas pada semua orang atas nama individu.
Siklus berikutnya. ketika integritas para birokrat belum hidup dan hiruk pikuk demokrasi yang makin heboh, apa yang terjadi? kematian efektifitas demokrasi itu sendiri. ironis (lagi), demokrasi yang begitu wah sudah tak lagi memberi manfaat berarti.
Semoga tidak terjadi kematian berikutnya, yaitu ketika tiba-tiba banyak orang yang rindu akan penguasa ototiter yang mereka pikir lebih efektif, hanya karena birokrasi dan demokrasi telah mati.
further reading : majalah tarbawi edisi 246 th.12
Slow down your life with #SlowSalah
4 hari yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar