Selasa, 27 November 2012

Mengintip

Mengintip bukanlah semata-mata melihat dari lubang kecil. Orang yang menyaksikan televisi punya esensi sama dengan mengintip: Melihat seseorang, menikmati membayangkan kehidupannya, tapi tanpa perlu khawatir orang yang dilihat kemudian balas melihat balik.

Syarif Maulana. Tobucil

Minggu, 25 November 2012

Kebablasan

Saya punya kebiasaan jelek --> mengerjakan sesuatu di ambang deadline.
Saya menyebutnya kekuatan kortisol, mengerjakan sesuatu di bawah tekanan yang akan menginduksi sekresi kortisol sebagai hormon stres sehingga muncul semacam inspirasi, kejernihan pikiran, dan kekuatan extra.
Misal waktu final MKTQ, saya ngerjain PPT baru mulai J-8 alias 8 jam sebelum presentasi, saya mulai ngerjain pukul 01.00 dini hari. Ada yang lebih parah, waktu ngerjain essai untuk tiket 2nd HPEQ conference saya baru mulai ngerjain J-3, dengan kata lain 3 jam sebelum deadline. Alhamdulillah selesai 14 menit sebelum deadline. Terus dalam pengerjaan skripsi, biasanyanya saya janjian dulu sama dobing kapan ketemuaannya, sengaja saya atur jadwal dalam waktu dekat. Misal jam 05.00 saya sms dobing, menanyakan kapan bisa ketemu, menyanyakan langsung skak bisa ga hari itu juga ketemu, dan beliau jawab bisa ketemu jam 08.00, alhasil saya buru-buru ngerjain dari jam 5 itu sampe jam 07.55. Hahaha. Mungkin kalo dobing bilang jam 10, saya selesainya jam 9.50. Yaaa, dan contoh-contoh lainnya yang ga kala ngedeadline.
Mama saya sering gregetan kalo ngedenger saya lagi ngedeadline. Kata mama ga baik ngedeadline, harusnya kebiasaan ngedeadline itu diubah, karena kalo ngerjain sesuatu dalam ketergesaan nanti hasilnya ga optimal.
Iya juga, pernah saya mulai ga ngedeadline, misal waktu ngerjain kartul dan powerpoint buat presentasi mawapres, itu 3 hari sebelum presentasi udah beres, enak banget rasanya, tenang dan tentram, hasilnya juga lebih optimal. Baru itu kayaknya momen saya ga ngedeadline. Haha.

Meskipun saya sering banget ngedeadline, alhamdulillah ga pernah melebihi batas deadline, pernah sih, tapi masih ditoleransi sama panitianya. Haha. Maksudnya masih acceptable. Dan rekor itu pecah malam ini. Hari ini saya melewati deadline suatu karya, karena saya baru sadar kalo deadlinenya hari ini tuh tadi sore, selama ini saya menyangka deadlinenya 29 November. Astagfirullah. Ini akibat menunda-nunda.

Menunda pekerjaan itu capek, capek banget, tapi ga ada hasil. mending langsung kerjain apa yang bisa dikerjain sekarang, walaupun capek, tapi ada hasil. No more tunda-tunda!

Jumat, 23 November 2012

Antimainstream dan ditertawakan. For the goodness, why not?

Well. Saya bukan tidak jarang ditertawakan atau dipandangi dengan heran oleh orang-orang.

For your information, saya cuma mau cerita bahwa saya diajarkan untuk berlaku benar. Sejak kanak-kanak saya dididik untuk berlaku correct, dan ditanamkan di sanubari bahwa bersikap correct adalah kebajikan dasar bagi setiap orang. Mulai dari hal kecil.

Saya inget banget waktu saya naik kereta Indralaya-Kertapati ada seorang Ibu dan anaknya yang berusia sekitar 5 tahun, anak itu sambil minum susu kotak, duduk-duduk ceria mengeksplorasi pemandangan yang kami lihat dari kereta. Ibu tersebut dengan cerdasnya menjawab semua pertanyaan anaknya yang penuh curiosity. Saya tersenyum. Dan senyum saya tetiba saja hilang, kaget, karena Ibu tersebut tetiba saja membuang sampah susu kotak anaknya di bawah jok kereta. Jujur, seketika itu juga saya stres, bingung mau berbuat apa, mau memberitahu ibunya, tapi khawatir dianggap sok. Mau diam saja, tapi tidak tahan mau memberitahu bahwa tindakan itu salah, apalagi Beliau melakukannya di depan anaknya, khawatir anaknya akan menganggap tindakan ibunya tersebut benar, dan menjadikan membuang sampah sembarangan adalah suatu kebiasaan tidak salah. Sungguh, anak ibu itu aset bangsa yang kelak, sangat mungkin, akan menjadi pemimpin Indonesia. Dan saya semakin ngeri membayangkan calon pemimpin Indonesia yang membuang sampah sembarangan. Tidaaaaak. Saya galau setengah mati saat itu. Sepanjang perjalanan kereta itu benar-benar terasa lama, saya klisak-klisik, kalau pakai istilah bahasa Jawa. Selama masa gelisah itu, saya mengumpulkan seluruh energi dan keberanian saya, merancang kalimat yang tepat, melakukan simulasi dialog dengan Ibu itu dalam pikiran saya. Finally, kereta hampir berhenti di stasiun Kertapati. Bismillah. Saya hampiri ibu itu, lalu berbicara "Bu, maaf, ini sampah Ibu tadi, tolong dibuang di tempatnya ya, tidak baik buang disini, apalagi di depan anak ibu, nanti dia meniru perbuatan itu. Anak ibu cerdas ya." Saya tersenyum sambil menyerahkan sampah susu kotak yang saya ambil di bawah kursi. Dan saya langsung langkah cepat meninggalkan stasiun. Kabuuuuuuur. Sumpah, deg-degan banget, tapi melegakan. Well, saya tidak terlalu peduli apa dipikirkan ibu itu dan apa yang akan ibu itu lakukan saat itu dan kemudian hari, yang penting saya udah melakukan hal yang harus saya lakukan. Fyuh.

Another day, kali ini ketika saya ke pasar. Saya sudah membeli tas go green di salah satu department store di Palembang. Sejak saat itu saya selalu bawa tas itu kemana-mana, ke kampus, ke bank, ke rumah saudara, pokoknya selalu siap sedia di tas yang akan saya bawa, sudah seperti bawa KTP. Dimana ada KTP, disana pula ada tas go green. Just in case, kalau sewaktu-waktu saya tiba-tiba harus membeli sesuatu tinggal dimasukkan ke tas itu.
Syalala, saya pergi ke pasar, so pasti bawa tas itu dong.
"Bu saya beli kangkung. Masukin sini aja, Bu.", Ibu itu tersenyum.
"Pak, saya beli mangga sekilo, masukin sini aja, Pak.", Bapak itu tersenyum juga.
"Pak, saya beli daging satu ons, Pak.", Kalau benda kayak daging atau ikan, tidak mungkin saya masukin ke tas ini, tapi tenang aja, saya juga bawa kantong kresek yang saya punya di kosan untuk hal-hal yang beginian.
"Bu, saya beli wortel dua ribu ya. Ga usah pake kresek, Bu." Kali ini Ibu penjual wortel heran, terpaku sejenak, kemudian memasukkan wortel itu ke kresek. "Ga usah, Bu. Saya bawa kantong sendiri" Ibu itu bilang "Husy! Jangan gitu." Akhirnya saya bayar dan ambil wortel itu, saya keluarkan dari kresek, dan kabur lagi. Betapa saya ini orang tukang kabur. Maafkanlah. Oke, saya juga ke mini market atau supermarket bawa tas ini. Beli martabak juga saya masukkan ke tas ini.

Mungkin sekarang kalian bertanya-tanya tentang kapan saya ditertawakan.
Waktu itu saya baru dengar pertama kali istilah car free day. Lupa juga kapan, waktu saya masih tinggal di Bandung. Sebenernya kalau tidak salah, pelaksanaan car free day itu masih hot, fresh, dan baru dilaksanakan di Jakarta. Tapi saya totally appreciate dengan orang orang yang benar-benar melaksanakannya. Dan, saya yakin itu bukan suatu kebetulan, hari itu saya disuruh beli pempek oleh Ibu saya ke batas kota. Batas ini bisa dikatakan jauh sih tidak, tapi dikatakan dekat juga tidak, estimasi saya sekitar 1000m dari rumah saya. Pilihan saya cuma dua, jalan kaki atau minta antar ayah. Daaaaaan, berhubung hari itu car free day, saya mencoba untuk jalan kaki saja. Waktu keluar rumah tetangga saya dengan kepo dan ramahnya menanyakan saya mau kemana, "Saya jawab mau beli pempek ke batas kota." Dan sekali lagi tetangga saya itu bertanya, "Ga dianter si ayah?", saya jawab sambil tersenyum dan berjalan ke arah jalan raya, "Ga, bude. Mau jalan kaki, kan lagi car free day." Saya tidak menoleh lagi, yang saya dengar cuma suara tertawaan bude, tetangga saya.

Hmm. Mungkin menurut banyak orang tindakan saya diatas cuma hal-hal sepele yang tidak artinya, tapi saya percaya kamu dan teman-teman pecinta lingkungan lainnya paham apa yang saya rasakan dan alasan dibalik perbuatan-perbuatan yang dianggap sepele itu. Saya percaya, tindakan itu bukan tindakan sepele.

Aksi nyata buat bumi, mungkin kecil, tapi bukan berarti sepele :)

Best regards,
Anita Permatasari

friends