karya B. Irawan Massie
dikutip dari buku Selembar Catatan Lawas milik ukhti Rika Maulida
Air dari langit menetes satu-satu di atas genteng
bunyi tik tik-nya terdengar makin merapat
tergelincir ke tanah menjelma aliran deras
menuju sungau untuk menyerah pada arus
yang mengantarnya ke perbatasan muara
mereka hendak diserahkan pada lautan
menunggu diserap langit, rumahnya semula
air:
dititipkan ke bumi
menyuburi tanah memakmuri sawah
menumbuhkan pohon dan tanaman indah
air mengemban amanah, menghidupi negeri yang mati
ia tak sanggup mengingkari
hidup adalah amanah
sejak garis merah memancar lurus di ujung timur
subuh itu segala terbangun menunggu matahari rekah
di luar jendela kamar dan di pintu pagar pelataran
tangan-tangan masih tergetar dalam doa
entah memohon apa atau menginginkan apa
barangkali keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan
barangkali wangsit dewata untuk menulis lagu dan puisi
atau apa saja yang terlintas seketika di sudut-sudut hati
barangkali perjalanan itu diawali langkah keluar pagar
setiap pagi, lalu kembali memasuki pagar di akhir hari
begitu pikirnya....
selamat malam, dan ia pun merapat pada sunyi
berharap seseorang menjawab pertanyaan yang sering
mengusiknya akhir-akhir ini : cukupkah hanya
istiqomah
prasangka baik
kerendahan hati
menjadi serangkai sabit bagi ladang kembaranya di sini?
namun sebagaimana amanah air, menghidupi
negeri yang mati
barangkali hidup manusia adalah amanah yang panjang
untuk membawa manfaat bagi sesama dan keluarga
untuk menyediakan bekal iman dan ilmu bagi anak-anaknya
mereka dititipkan dan diamanahkan oleh-Nya
ya Aliy, ya Haqq, ya Nuur
sebelum membeku kita dalam dingin
melayang tinggi di udara ringan
lenyap dalam cahaya-cahaya
Lebak Bulus, 2011
Ada puisi yang lebih indah lagi dimana dia memuji istri dan anak-anaknya :)
BalasHapus