"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa" QS Ali Imron: 133
"(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." QS Ali Imron: 134
"dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui." QS Ali Imron: 135
***
Menyoal taubat selalu bikin saya ketar ketir. Khawatir. Khawatir taubat saya ngga diterima.
Minggu lalu saya ngga sengaja menyadari bahwa saya telah beberapa kali melakukan hal-hal yang tidak baik, sesuatu yang pantas disebut maksiat (melakukan hal yang dilarang Allah). Iya, ngga sengaja sadar. Soalnya saya tidak sedang mencari tahu perihal tersebut. Tamparan pertama, ketika saya baca biografi Hamka yang ditulis oleh anaknya Irfan Hamka, judul bukunya "Ayah". Tamparan kedua, ketika saya mampir ke dashboard tumblr. Tamparan ketiga, ketika saya baca buku Tarbiyah Dzatiyah. Selama ini, saya dengan pengetahuan yang nol ini selalu menganggap hal tersebut tidak salah, logika saya selalu punya alasan pembenaran untuk hal yang saya lakukan tersebut. Hiks.
Ada pembenaran menyoal taubat dengan logika bodoh dan salah yang saya buat-buat sendiri
1. Allah itu Maha Pengampun, insya Allah dosa saya bakal diampuni, no matter what, tinggal mohon ampunan aja, bertekad sih untuk ngga ngelakuin lagi, tapi ya kan kalo khilaf mau digimanain lagi, namanya juga manusia. *evil smirk* *dengan berpegang teguh pada prinsip ini, ujung-ujungnya ngelakuin lagi*
2. Kalau kita ngga tau suatu hal itu salah atau bener, berarti kita ngga dosa, kan ngga tau. Yaudah. Saya ngga perlu cari tau lah, daripada ternyata hal itu salah, kan malah jadi dosa. *evil smirk bigger*
3. Ada masa ketika saya menyadari "kayaknya hal ini salah deh", terus saya cari tau hukumnya, ternyata ada berbagai macam pendapat ulama, ada yang bilang boleh, ada yang bilang ngga boleh, yaudah, saya ambil yang bilang boleh. *evil smirk bigger and bigger*
Parah, ya?
Jahat.
Super jahat.
Astagfirullah.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenarnya." QS. At-Tahrim:8
Dari apa yang saya tangkap dari QS. Ali-Imron: 135, sebenernya prinsip taubat yang sebenarnya itu cukup sederhana (tapi aplikasinya ngga gampang, indeed). Jelas caranya.
1. Segera ingat Allah, menyesali apa yang udah dilakukan
2. Segera mohon ampun pada Allah
3. Berhenti melakukan dosa tsb
4. Bertekad ngga akan melakukan dosa tsb lagi. Ever.
Segera. Harus segera. Sebelum terlambat. *inget adzan maghrib di trans tv*
Iman naik turun. Ada kalanya udah bertekad gitu. Masiiiiih aja khilaf atau godaan untuk melakukan dosa itu lagi muncul lagi, even stronger. Mungkin tekadnya kurang kuat. Terjadi lagi. Taubat lagi. Terjadi lagi. Taubat lagi.
Jadinya bukan taubat yang sesungguhnya, tapi taubat sambal. Ini akibat logika salah nomer satu. Ini berbahaya. Lama kelamaan pikiran kita jadi resisten terhadap dosa yang kita lakuin. Endingnya bisa-bisa hal tersebut ngga kita anggap sesuatu yang salah lagi. Na'udzubillahi min dzaliik. Hiks
Serupa dengan penggunaan antibiotik yang ngga tepat cara guna dan ngga tepat dosis, kuman yang mestinya dibasmi, malah jadi makin kuat. Butuh taraf dosa yang lebih besar lagi untuk menggerakkan kita bertaubat. Butuh upaya taubat yang lebih ekstra lagi untuk benar-benar taubat yang sebenarnya. Taubat yang seharusnya bisa menyucikan, tapi kalo ngga tepat cara guna, malah bikin pemikiran jahat kita resisten taubat.
Astagfirullah.
And Allah knows best.