Astagfirullahal'adzim.
Mau cerita tentang beberapa kejadian sederhana yang punya dampak besar dalam perilaku saya. Semuanya berbekas banget di hipokampus.
Pertama, ketika kelas 4 SD, entah sumbernya dari mana, saat itu saya lagi nyebelin sering nambahin kata "tahu" di akhir kalimat, bukan tahu temennya tempe, tapi "tahu" yang dibaca tau (berikutnya akan saya tulis tau), kata "tahu" yang kalo ditambah imbuhan me-i jadi mengetahui. Misal:
"Nggak gitu, tau?"
"Ini tuh ceritanya gini, tau?"
"Tadi kejadiannya bukan gitu, tau?"
Dan otomatis itu menjadikan saya anak yang menyebalkan haha, karena dengan tambahan kata itu seolah-olah orang lain nggak tau dan hanya saya yang tau, saya jadi bocah sok pinter. Parahnya saya bicara kayak gitu bukan cuma ke temen sebaya, tapi sama orang yang lebih tua. Astagfirullah. Parah bingits. Nah kejadian klimaksnya adalah ketika saya berbicara kayak gitu kepada guru ngaji saya dan disaksikan oleh Mama, kejadiannya di rumah. Jeng jeng. Mama dengan tiba-tiba nepuk bahu saya sambil bilang, "Nita, nggak boleh gitu, nggak sopan." Mama yang biasanya nggak pernah ngagetin gitu, tetiba bilang kayak gitu dan nadanya emang agak tegas. Saya langsung terpaku sesaat dan (akhirnya) sadar kalo emang nggak sopan. Saya minta maaf sama Bu Erna. Sejak saat itu saya nggak pernah gitu lagi, bahkan ke temen sebaya pun. Terima kasih, Mama. Hehe.
Kedua, kelas 1 SMP, dulu lagi jaman-jamannya disebut kelas VII haha. Kejadiannya saya mau nginep di rumah saudara, di daerah Pesantren (ini emang nama daerahnya disebut pesantren, tapi maksudnya bukan pesantren beneran). Daerahnya lumayan padet karena ada perempatan dan ada pom bensin, selain itu angkot suka berhenti sembarangan, jadi makin macet, makanya disitu suka ada polisi kalo lagi jam-jam hectic pagi, siang, dan sore. Waktu itu saya naik angkot dari rumah sekitar abis ashar, lagi jam padet, jam pulang kerja.
"Kiri, mang." Saya bilang ke mang angkot. Saya minta berhenti sekitar 2 meter dari simpang, dan itu sebenernya daerah S coret atau dilarang stop. Kondisi udah macet, dan semakin macet gegara tingkah kurang ajar saya yang minta stop di situ. Daaaaaaan saat saya turun dari angkot, saya dicegat Bu Polwan, iya, bukan mang angkotnya, tapi saya. Astagfirullah. Dan Bu Polwan itu dengan agak kesel nanya, "Dek, kamu anak sekolah, bukan? Kamu tau kalo dibatas ini masih dilarang stop?" Yaaa Allah, speechless dan malu banget. Saya kembali ngahuleng sebentar dan akhirnya saya bilang, "Maaf, Bu. Iya, saya salah. Insya Allah nggak akan diulangi lagi." Jleb banget dengan kalimat "Dek, kamu anak sekolah, bukan?" Huhuhu. Sejak saat itu saya jadi anak yang berusaha semaksimal mungkin untuk nggak melanggar rambu-rambu lalu lintas, walaupun mungkin terlihat repot dan nggak efektif, tapi lebih menenangkan jiwa haha. Terima kasih, Bu Polwan.
Ada beberapa kejadian lain yang lumayan life changing. Nggak bisa disebutkan satu per satu. Dan kenapa saya tetiba cerita ini? Karena tadi siang saya kembali merasakan moment seperti itu, dan sesaknya masih terasa sampai detik saya nulis ini. Malu. Astagfirullah. Malu sama diri sendiri, malu sama pembimbing kami dr. LA. Malu banget.
Sepanjang pengalaman dari kuliah hingga koas, rasanya nggak pernah buat kesalahan sefatal tadi, fatal banget, menyesatkan. Jadi ceritanya data diskusi kasus udah dibuat sejak minggu kedua di THT, kami udah kasih filenya minggu itu juga, slide presentasi juga udah dibuat, ternyata beliau bilang presentasinya post ujian aja, yaudah, terlena. Ngerjain kasus igd, bangsal, poli, ke rumah sakit jejaring, dan tiba-tiba minggu kelima, minggu ujian. Fokus utama ke OSCE dan MCQ. Kami mikir, yaudah diskusi kasus ini tinggal maju aja, bahan udah, ppt udah. Sebenarnya kami udah sempet bimbingan sama residen. tapi ternyata tetep ada yang missed. Aaaaaak. Astagfirullah. Tadi dramatis banget, terlalu menyesakkan untuk diceritakan..... Masih speechless....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar